Meski menular dan cukup berbahaya, kusta ini
bukan kutukan. Tak ada satu pun di dunia ini yang berharap bisa menjadi
penderita kusta, jadi tak sepantasnya pula kita malah mendiskreditkan mereka,
apalagi pada mereka yang jelas-jelas sudah sembuh dari penyakit itu.
Aku sendiri tak pernah bisa membayangkan
bagaimana rasanya jadi mereka, mungkin kalau itu terjadi padaku, aku tak kan
pernah sanggup. Mereka hebat, mereka keren. Tak sekedar bisa melalui masa-masa
berat saat sedang menderita penyakit tersebut, mereka pun masih harus menerima
kenyataan kalau kedepannya hidup tak akan lagi sama. Ada gelar baru yang mungkin bisa tersemat pada
mereka, Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK), bagian dari kelompok ragam
disabilitas.
Menurut data Bappenas 2018, ada sekitar 21,8
juta atau sekitar 8,26 persen penduduk Indonesia yang merupakan pendang disabilitas,
termasuk mereka, para OYPMK. Sungguh angka yang tak sdikit bukan?! Namun sayangnya,
meski angkanya terbilang cukup besar, hingga saat ini mereka masih menghadapi
kesulitan dan tidak memiliki layanan kesehatan yang layak. Padahal, sama
seperti kita, warga negara pada umumnya, para penyandang disabilitas ini,
termasuk para OYPMK sudah seharusnya mendapat pemenuhan hak yang dilindungi
oleh undang-undang.
Salah satu hal yang terbilang penting adalah
pada sektor kesehatan. Pemerintah harus bisa menjamin ketersediaan fasilitas
layanan kesehatan dan memfasilitasi para penyandang disabilitas untuk bisa
tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial maupun ekonomis. Lalu, apakah
untuk saat ini jaminan-jaminan tersebut sudah tersedia? Topik inilah yang
kemudian diangkat menjadi tema diskusi pada ruang publik KBR yang disiarkan
langsung di 100 radio jaringan KBR di seluruh Indonesia.
Diskusi daring ini juga disiarkan melalui 104.2
MSTri FM Jakarta, live streaming via website kbr.id dan youtube berita kbr.id
dengan narasumber yang cukup kompeten di bidangnya, diantaranya ada Pak Suwata
dari dinas kesehatan kabupaten Subang, dan Kak Ardiansyah, seorang aktivis
Kusta/ Ketua PerMaTa Bulukumba.
Menurut Pak Suwata, Penderita Kusta bisa
dikatakan sebagai penyandang disabilitas ganda, karena penyakit kusta bisa
menimbulkan gangguan secara sensorik dan motoric. Tak hanya di situ saja,
mereka pun harus menghadapi berbagai stigma negatif yang ada di masyarakat. Di
Kabupaten Subang sendiri, penyakit Kusta ini masih jadi momok menakutkan karena
masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit yang satu ini. Hal
tersebut pun dibuktikan dengan masih tingginya angka keberadaan cacat tingkat
dua akibat Kusta di Kabupaten Subang.
Akses kesehatan inklusif bagi penyandang disabilitas termasuk orang dengan kusta
Berdasarkan hasil diskusi tersebut, ada beberapa
upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang terkait akses kesehatan
inklusif bagi penyandang disabilitas termasuk orang dengan kusta. Diantaranya adalah
sebagai berikut,
1.
Advokasi
pada pemerintah daerah,
2.
mengintegrasikan
peran pada masing-masing skateholder dan masyarakat,
3.
mengintegrasikan
layanan kesehatan bagi penderita kusta melalui berbagai forum,
4.
melakukan
berbagai upaya pencegahan agar penyakit Kusta ini tidak menyebar ke mereka yang
terlanjur kontak erat dengan penderita kusta.
5.
Dan
masih banyak hal lainnya.
Tak mau kalah dengan dinas kesehatan Subang,
PerMaTa Bulukumba yang diketuai oleh kak Ardiansyah pun ikut melakukan berbagai
hal untuk bisa mendampingi para penderita Kusta dan mereka yang pernah
mengalami Kusta agar bisa kembali hidup madiri dan produktif.
Satu hal penting yang aku catat dari diskusi
tersebut adalah penyakit kusta bukan kutukan. Penyakit kusta ini memang bisa
menular tapi tenang saja, penularannya tak segampang yang kita pikirkan kok.
Bahkan jika segera ditangani dengan baik, insya Allah penderita Kusta tak akan
sampai mengalami disabilitas. Jadi jangan sampai stigma negative malah
menghambat pengobatan mereka yaa.
0 comments:
Posting Komentar